Sabtu, 10 April 2010

Bingkai Budaya Dalam Kebersamaan

Pagi itu nampak tak seperti biasanya. Orang-orang di daerah tempat tinggal ku sedang beramai-ramai membersihkan jalan-jalan sekitar. Ada yang menyiangi rumput, membersihkan selokan, memotong ranting-ranting pohon, memunguti sampah yang berserakan, dan lain-lain. Inilah kebiasaan di kampung ku setiap kali menjelang maulid nabi. Yah, itulah kebiasaan kami orang Kandangan. Di sini, budaya gotong-royong dan semangat kebersamaan masih sangat kental terasa, apalagi jika menjelang hari-hari besar seperti ini.
“Husni… kamu ikut kan nak gotong royong?”ucap ayah ku sebelum pergi ke surau. Husni, itulah nama ku. Sebenarnya aku masih mengantuk, tapi apalah daya usai shalat subuh aku langsung bersiap diri., untuk kemudian ikut turun ke jalan membatu bersih-bersih. Di depan rumah beberapa teman ku sudah menjemput ku untuk pergi ke langgar atau surau tempat acara akan dilaksanakan. Kali ini bersih-bersih dipusatkan di sekitar surau lebih dulu, agar menjelang acara nanti semua telah rapi. Meski begitu, disepanjang jalan juga ada warga yang membersihkan. Semua memang memiliki tugas masing-masing dalam al ini. Namun, pada intinya semua juga untuk kebaikan bersama.
Ntah merupakan budaya atau kebiasaan saja, hampir setiap kali gotong-royong diadakan selalu di hibur oleh kesenian daerah sini. Musik panting itulah namanya. Musik panting adalah kesenian khas Kalimantan selatan. Sekalipun tak selengkap pada acara-acara pagelaran, tapi ini sudah cukuplah untuk menghibur dan memacu semangat kami. Dasar anak-anak, karna ada musik panting akhirnya bukan segera ikut membantu bersih-bersih, tapi malah asyik joget-joget tak karuan. Aku juga ikut sih… hehehe.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang. “Astaga…”ucap ku. “Astaga… apa sih, Ni?”ucap Rahman teman ku. “Hampir saja aku lupa mengambil kue dan teh di rumah untuk warga yang ikut gotong-royong,”jawab ku pada Rahman. Setelah minta izin pada ayah, aku ditemani Rahman, Arif, Hadi, dan beberapa teman lainnya kemudian menuju rumah.
Di rumah ku, para ibu-ibu sedang berkumpul. Mereka bersama-sama menyiapkan hidangan untuk yang sedang bergotong-royong. “Ka mana haja ikam tuh Husni. Mulai tadi di hadang kada datang-datang jua.”ucap mama ku. (“Ke mana saja kamu itu Husni. Sejak tadi ditunggu tidak datang-datang.” ucap mama ku /Ibu dalam bahasa banjar.) Setelah itu aku dibantu teman-temanku, kemudian mengantarkannya ke surau tempat gotong-royong dilaksanakan.
Di surau/langgar, orang-orang dengan lahapnya memakan kue yang telah disediakan. Sederhana memang, tapi di sini bukan kemewahan yang diutamakan, melainkan kebersamaan yang terjalin. Ibaratnya, satu kena masalah semua ikut membantu. Meski tak banyak membantu, tapi kami juga dapat jatah…. Hehehe. Karna ditawarkan yah kami pun tak menolaknya. Semua telah selesai, aku dan ayah pun kemudian pulang kembali ke rumah. Di perjalanan menuju rumah, aku bertanya pada ayah kapan acara maulid bersama atau yang biasa kami sebut maulid sekampungan ini dilaksanakan. Ternyata kata ayah, maulid itu akan dilaksanakan kurang-lebih sekitar seminggu lagi lah.
Tanpa terasa, dua hari lagi maulid sekampungan akan dilaksanakan. Sore ini, ibu ku ada acara urunan. Mungkin rada aneh ya? Tapi itulah cara kami untuk menyebut semacam arisan ibu-ibu di kampung ini, yang sekaligus uga diisi dengan ceramah agama. Seperti yang sudah ku katakana sebelumnya, di sini budaya kebersamaan dan musyawarah masih sangat kental terasa. Sebelum acara selesai seorang pembawa acara biasanya basaruan (mengundang) untuk acara-acara tertentu, seperti maulid sekampungan yang akan dilaksanakan ini.
Sepulangnya dari urunan tadi, mama ku bercerita banyak pada aku dan ayah. Mama juga membawa barakat atau bungkusan berisi makanan yang diberikan orang yang menggelar hajatan kepada undangan yang datang untuk orang rumah.
Besok acara maulid sekampungan akan dilaksanakan. Kebetulan besok hari libur, jadi aku bisa ikut melihat acara maulid nabi ini. Seusai shalat isya berjamaah, aku, ayah, dan beberapa warga lainnya menghiasi plapon langgar dengan gantung-gantungan bunga dan uang seribuan. Sedang para ibu-ibu sedang asyik membuat bunga rampai dari daun pandan yang ditaburi kelopak-kelopak bunga dan dipercikkan minyak wangi yang kemudian dibungkus dalam plastik-plastik kecil dan diisi dengan permen. Hal ini dilakukan untuk meramaikan acara. Hampir saja lupa, plapon mesjid dan sudut-sudut/sela-sela tiang mesjid juga dihiasi dengan balon aneka warna.Besok acara dilaksanakan sehabis shalat ashar sekitar jam empat sore.
Hari yang ku nanti pun tiba juga akhirnya. Sejak shalat zuhur tadi anak-anak kecil sudah terlihat tak sabar untuk mengambil uang dan balon yang telah digantung. Beberapa anak malah telah beberapa kali mencoba untuk mengambilnya, tapi sayang karena badan mereka masih kecil-kecil jadi akhirnya tak ada yang berhasil. Walhasil ada anak yang sampai menangis segala. Meski agak sedikit kasihan aku dan teman-temanku juga tak bisa membantu karena takut dimarahi. Walaupun pada akhirnya kami juga ikut tersenyum simpul melihat kejadian ini. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk punak ku dari belakang sambil berujar, “Jangan ngeledek. Kamu juga dulu seperti itu kan, Ni?.” Aku yang kaget pun sontak saja menoleh kebelakang. Betapa terkejutnya aku yang tadi menepuk pundak ku itu adalah ustadz Hamdani. Aku malu sekali dengan hal ini. Belum sempat aku berujar untuk membalas perkataan beliau tadi. Eh justru beliau lebih dahulu berkata demikian, “Sudah sana gih. Daripada ngeledek orang nambahin dosa, mending latihan habsy, biar nanti bagus tampilnya.” Yap… beliau adalah guru mengaji sekaligus guru habsy kami.
Tahun ini maulid memang cukup sering diramaikan dengan pagelaran habsy. Habsy adalah tabuhan rebana secara bersama-sama yang mengiringi acara-acara tertentu. Kebetulan kali ini kami berkesempatan untuk ikut mengisi acara dengan bermain habsy.
Jam sudah hampir menunjukkan pukul empat petang. Usai beristirahat dan semuanya berkumpul, acara pun dimulai. Acara dimulai dengan beberapa sambutan terlebih dahulu, kemudian diteruskan dengan ceramah dan pembacaan al-barjanji. Dan pada puncaknya sambil membaca shalawat diiringi habsy pun bergaung merdu. Bunga rampai pun dibagikan. Setelah bunga rampai dibagikan, kini tiba saatnya berebut uang yang telah digantung sejak kemaren malam. Dari anak-anak sampai yang tua pun tak ikut berebut. Kalau bagi anak-anak sih uangnya untuk jajan. Berbeda halnya dengan orang dewasa yang terkadang menyebut untuk pipikan atau penglaris dagangan. Eits… tunggu dulu jangan buru-buru menfsirkan hal ini sebagai hal musrik yang menyekutukan Tuhan untuk meminta rezeki, tapi semua ini hanya untuk hiburan semata. Yah bisa dibilang budaya lah.
Gara-gara ikut main habsy ya akhirnya aku tak dapat rebutan… hehehe. Walaupun bisa dibilang sudah besar, tapi aku tetap saja mau ikut rebutan. Tapi aku tak terlalu menyesal juga sih. Karena tahun ini aku memiliki pengalaman yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Di tahun ini aku tak hanya bisa ikut mengisi acara maulid sekampungan, tapi juga ikut melestarikan budaya daerah ku sendiri. Ceramah sudah, habsy sudah, rebutan sudah, dan serangkaian acara juga sudah. Sekarang tinggal acara makan-makan. Tahun ini makanannya adalah nasi kuning dengan ikan haruan atau gabus yang dimasak dengan sambal habang dan telur yang juga dimasak sama.
Hari ini aku diajak abah dan mama ke Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara. Pasalnya pada hari ini diadakan acara Baayun Maulud. Baayun Maulud merupakan salah satu acara yang dilaksanakan bersamaan dengan perayaan Maulid Nabi. Uniknya, yang diayun bukan hanya anak-anak kecil. Tapi juga nenek-nenek dan kakek-kakek. Umumnya mereka sengaja ikut baayun karena nazar. Nazar ini karena sudah tercapai niat atau tujuannya seperti sudah kesampaian naik haji, mendapat rejeki yang banyak atau untuk maksud agar penyakitnya hilang dan panjang umur.
Sebenarnya, acara ini tak hanya dilaksakan di daerah Tapin saja. Tetapi juga di daerah lain di Kalimantan selatan. Seperti di Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru dan Makan Sultan Suriansyah di Banjarmasin.
Berhubung acil ku (sebutan untuk tante dalam bahasa banjar) ada di sini, jadi kami memilih untuk melihat acara baayun maulud di Tapin saja. Jujur, aku juga baru sekali ini melihat acara baayun maulud. Meski pun pada dasarnya acara ini sudah popular sejak tahun 1990-an. Baayun Maulud ini sendiri dilaksanakan setiap tanggal 12 Rabiul awwal.
Baayun sendiri sudah menjadi tradisi hampir semua ibu-ibu masyarakat banjar untuk menidurkan anak-anak mereka. Sebagai medianya, ayunan terbuat dari tapih bahalai atau kain kuning yang ujung-ujung kainnya diikat dengan tali haduk atau ijuk. Ayunan ini biasanya digantung pada palang plapon diruang tengah rumah. Sedangkan pada talinya biasa diikatkan Yasin, dau jarangau, kacang parang, katupat guntur, dengan maksud dan tujuan sebagai penangkal hantu-hantu atau penyakit yang mengganggu bayi. Posisi saat menidurkan bayi ada dua. Yakni dipukung dan diayun. Dipukung adalah menidurkan bayi dengan posisi duduk. Sedangkan diayun dengan cara berbaring. Pada saat menidurkan bayi biasanya diiringi dengan shalawat nabi atau nyanyian yang kerap disebut badundang. Liriknya seperti ini :


Guring – guring anakku guring Guring diakan dalam pukungan Anakku nang bungas lagi bauntung Hidup baiman mati baiman

Lirik dalam pukungan biasanya akan diganti dengan kata dalam ayunan jika anak dalam posisi berbaring.
Isi lirik sendiri sangat puitis degan makna filsafah yang dalam. Lirik pada nyanyian ini berisi tentang pujian kepada sang anak dan mendoakan agar sang anak kuat imannya sampai akhir hayat.
Tak terasa kita telah sampai di tempat tujuan. Di sana orang-orang sudah ramai berkumpul. Ayunan-ayunan bergantungan dengan pernak pernik-pernik macam-macam. Mulai dari barang-barang samapai makanan.
Benar saja acara ini memang sangat meriah. Usai anak-anak, ternyata orang tua juga ada yang naik ayunan lho. Aku juga ikut naik. Yah, mumpung masih belum terlalu besar jadi aku piker tak apalah jadi belum terlalu malu…. Hehehe
Sebenarnya acara baayun maulud atau maulid ini hampir sama dengan acara batampung tawar. Mungkin kalian baru pertama kali ya mendengar kata batampung tawar? Batampung tawar adalah acara semacam selamatan untuk menyambut kelahiran seorang anak. Sama halnya dengan acara baayun maulid, ayunan yang digunakan juga digantungi acam-macam. Nantinya gntungan yang ada akan diperebutkan oleh orang-orang yang hadir.

Dentang waktu terus berlalu. Kini bulan ramadhan semakin dekat menjelang. Kira-kira tinggal beberapa minggu saja. Nah, hari ini kami akan melaksanakan shalat nisfu sya’ban. Sesuai kebiasaan kami, setelah shalat magrib, shalat nisfu (serangkaian shalat seusai shalat magrib yakni : shalat taubat, shalat hajat, dan shalat tasbih), dan shalat isya maka akan diadakan acara selamatan kecil-kecilan guna menyambut bulan suci ramadhan. Sejak sore tadi para ibu-ibu sudah memasak bersama di belakang langgar untuk makanan selamatan.
Magrib hampir menjelang. Sejak sore tadi orang-orang sudah ramai berjalan menuju langgar sambil membawa teko berisi air. Mungkin ada yang bingung jika melihat kebiasaan ini. Tapi tidak bagi ku, karena ini adalah tradisi. Air dalam teko itu akan di taruh di depan tempat imam shalat. Hal ini dimaksudkan agar air tersebut di do’akan. Yah banyak yang mengatakan air tersebut nantinya diminum untuk mendapatkan berkah. Terlepas dari benar atau tidaknya hal ini, pada dasarnya ini adalah salah satu budaya kita juga.
Seusai shalat isya, selamatan pun digelar. Imam pun memimpin do’a. Kemudian makanan dibagikan. Kami semua memakannya dengan hati senang. Sebelum pulang, orang-orang mengambil teko yang mereka letakkan tadi untuk diminum di rumah.
Tak terasa besok sudah masuk bulan puasa. Malam ini adalah tarawih pertama. Setelah shalat magrib aku baru pergi ke langgar. Sebenarnya, orang-orang sini kebanyakan sudah sejak magrib tadi karena sekalian shalat magrib berjamaah. Sambil menunggu isya, anak-anak kampung ku asyik memukul-mukul beduk… Hehehe. Walaupun sudah ditegur beberapa kali, kami cuek saja malah semakin kencang.
Adzan isya pun berkumandang. Kami pun dan sebagian orang lainnya kembali mengambil air wudhu, takut kalau-kalau batal. Shalat isya pun selesai, kemudian dilanjutkan shalat tarawih dan witir di akhir. Kebetulan malam ini malam jum’at, jadi seperti biasa, di sini diadakan ceramah agama. Sebelum itu kami bersama-sama membaca yasin.
Setiap bulan puasa, hampir disetiap daerah di Kalimantan selatan ada yang namanya pasar wadai. Pasar wadai adalah tempat orang menggelar dagangan mereka. Yakni seperti kue-kue tradisional, ta’jil untuk berbuka, minuman-minuman, dan panganan lainnya. Uniknya, pasar ini hanya ada setahun sekali, tepatnya pada bulan ramadhan seperti ini. Pasar wadai dibuka mulai pada siang hari. Sebenarna mungkin tak hanya ada di Kalimantan selatan saja, tetapi di daerah lain juga, hanya saja barangkali orang menyebut namanya berbeda-beda di setiap daerahnya.
Hari ini, teman-teman ku mengajak ku ke pasar wadai. Tepat sekitar jam lima sore kami pergi ke pasar wadai. Kami sengaja memilih saat sore hari. Karena seandainya pas siang hari kami takut kalau-kalau tergoda dengan makanan yang ada, bisa-bisa puasa kami batal.
Kami pergi ke sana dengan berjalan kaki. Karena menjelang buka puasa seperti ini, pasar wadai pasti ramai dengan orang yang ingn berbelanja menu buka puasa. Malahan sampai macet karena para pengendara bejubel, sedang lahan parkir amat terbatas. Meski berjalan kaki, kami tak merasa lelah. Selain karena jaraknya tak teralu jauh, tapi juga karena sore hari, jadi panasnya terik matahari sudah tak begitu menyengat. Apalagi sambil mengobrol dengan diteman, beuh jarak yang kami tempuh serasa lebih dekat.
Di pasar wadai, aku, Rahman, Arif, dan Hadi memulai perburuan kami. Hahaha… kaya mau mencari apa saja. Maksudnya memulai mencari-cari apa yang akan kami beli. Kebetulan lebaran masih lumayan lama, jadi kami hari ini memutuskan untuk membeli kembang api. Sebab, seandainya membeli kembang api menjelang lebaran nanti, sudah barang tentu harganya jauh lebih mahal.
Tak terasa jam menunjukkan pukul setengah enam sore. Kami pun segara pulang, karena sebentar lagi buka puasa. Sepanjang perjalanan, si Arif merengek seperti anak kecil yang tak dibelikan permen. Bukan apa-apa, kali ini si Arif berniat mengajak kami semua untuk buka puasa bersama di langgar.
Jujur, aku baru kali ini akan berbuka puasa bersama di langgar. Sebenarnya, buka puasa bersama di langgar atau di mesjid bukanlah hal baru di sini. Hampir di setiap mesjid atau pun langgar di daerah ku ini menyediakan makanan untuk buka puasa bagi para musyafir atau orang-orang yang sedang melakukan perjalanan, tidak hanya itu makanan tersebut juga diperuntukan bagi para warga sekitar.
Dug… Dug… Dug… allahu akbar…allahu akbar… suara bedug beriring adzan menutup puasa hari ini. Setelah meminum beberapa teguk teh manis hangat, kami pun melanjutkannya dengan shalat magrib. Usai shalat magrib, kami pun melanjutkannya dengan makan bersama. Kebetulan hari ini kami berbuka puasa dengan soto banjar.
Mungkin kalian sudah mengenal apa itu soto banjar. Soto banjar adalah makanan khas daerah Kalimantan selatan. Soto di daerah ku ini tak seperti soto pada umumnya. Soto banjar dimakan dengan ketupat, ketupatnya lumayan besar lho. Kuahnya juga unik karena tidak pakai santan, apalagi dikuah itu terdapat banyak rempah-rempah yang bisa menghangatkan. Memakan soto banjar tak lengkap rasanya tanpa membubuhinya dengan limau kuit. Limau kuit adalah sala satu buah endemik daerah Kalimantan.
Ramadhan terasa begitu cepat berlalu. Tak terasa besok sudah lebaran. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, di sini setiap malam lebaran ada acara yang namanya baarak. Baarak adalah semacam acara yang juga diperlombakan. Di acara baarak ini banyak sekali lampion atau lampu-lampu hias yang biasa kami sebut dengan tanglung. Mobil-mobil,gerobak,dan kendaraan lainnya begitu ramai menghiasi jalan raya. Memecah keheningan malam yang ada. Ada tanglung berbentuk ketupat, bedug, kapal,dll. Tak hanya itu, ada juga teatrikal lho. Seperti tuyul yang ada dalam kurungan, pocong, dan masih banyak lagi. Yang lebih seru pada acara ini juga diiringi musik. Salah satunya adalah musik panting. Panting adalah musik asli banjar. Yng biasa dibawakan pada acara tertentu. Alat musik panting berbentuk seperti gitar. Cara memainkannya juga hampir sama, yakni dipetik. Tapi pada bagian bawah alat musk panting berbentuk melengkung seperi gayung. Hampir saja aku lupa, pada acara baarak tak hanya yang seram-seram saja lho. Ada juga pertunjukan budaya Kalimantan selatan. Seperti acara pernikahan dengan membawa sepasang pengantin dan teatrikal acara mandi tjuh bulanan untuk orang hamil. Pertunjukan teatrikal itu mirip sekali dengan aslinya. Mulai dari propertinya sampai orang yang memperagakannya. Acara baarak ini sendiri dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kami karna telah melawati bulan ramadhan dengan baik an bisa menahan hawa nafsu selama bulan ramadhan.
Pagi pun menjelang. Aku, abah, mama, dan beberapa sodara pun berjalan menuju mesjid untuk shalat ied berjamaah. Usai shalat ied kami saling bermaafan dengan orang-orang yang kami kenal di sana. Takbir lebaran masih berkumandang mengiringi permintaan maaf kami kepada setiap orang.
Di rumah, aku pun sungkeman kepada abah dan mama. Seusai meminta maaf kami pun makan bersama sebelum nanti mengunjungi rumah-rumah sodara untuk bersilaturahmi dan bermaaf-maafan serta ziarah.
Seperti tahun sebelumnya, di rumah ku ada lapat dan ayam masak habang. Lapat adalah makanan semacam lontong yang dibungkus dengan daun pisang yang kemudian dilipat dan dikukus. Lapat juga terkadang disebut buras. Kalau ayam masak habang adalah ayam yang dimasak dengan sambal yang warnanya merah. Karena warna merah di sini biasa disebut habang jadi ya jadilah ayam masak habang sebutannya.
Setelah makan, kami pun pergi ke rumah nenek ku. Di sana, kami makan ketupat Kandangan. Ketupat Kandangan adalah salah satu makanan khas di sini. Ketupat Kandangan biasa di makan dengan ikan haruan (haruan adalah ikan gabus dalam bahasa Indonesia) dan telur asin atau telur rebus.
Di tempat nenek ku juga ada cemilan seperti dodol dan apam. Dodol dan apam juga merupakan salah satu makanan daerah kami.
Makan pun selesai, kemudian aku bercengkerama dengan sepupu-sepupu ku. Tak hanya bermain, kami juga berbagi cerita. Sedangkan para orang tua kami asyik bercerita dengan keluarga yang lainnya. Pada hari-hari biasa kami jarang sekali bisa berkumpul seperti ini. Karna kesibukan masing-masing. Kalaupun bisa itu hanya pada acara-acara tertentu saja. Walaupun beitu tentu kadang tak selengkap seperti lebaran ini. Inilah yang aku rindu disetiap tahunya. Apalagi kalau bukan kebersamaan seperti kali ini. Yah tak ku sadari sebelumnya ternyata budaya banjar memang kaya dan lebih penting lagi kebanyakan dilaksanakan dengan kebersamaan.
Ku harap budaya kita bisa terus terjaga sampai nanti. Sehingga bisa menjadi warisan untuk generasi mendatang. Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar